Saturday, 20 July 2019

Contoh-contoh Cerita Pendek (CERPEN)




Melawan Bayangan
Gerimis dan lagu-lagu mellow adalah pasangan yang paling romantis di sore seperti hari ini. Perlahan rinainya membasahi alam. Sama dengan gerimis di pipi Nessa yang perlahan-lahan kian membanjir. Sedikit menetesi segepok album foto yang tengah berada di tangannya.
Setiap lembar dari album itu membawanya kembali pada setiap masa yang pernah dilaluinya. Nessa merindukannya. Sangat merindukannya. Suasana hangat yang dulu pun masih jelas terasa. Dan sebentuk bayangan itu adalah tentangnya. Seseorang yang selalu mengisi hati Nessa hingga kini.
Bayangan itu membawa Nessa ke sana. Di sudut kelas yang belum dikenalnya. Suasananya ramai layaknya pasar. Penghuninya masih asing dan bergerombol-gerombol. Nessa tengah terlibat pembicaraan dengan teman segerombolannya.
“Kira-kira enak nggak ya gurunya?” celetuk satu kawannya.
“Kira-kira aku dapat nemukan cowok yang super ganteng dan terkenal di seantero sekolah nggak ya?”
“Seperti yang di FTV kah?”
“Uh… so sweet.” Yang lain pun menimpali, diikuti celetukan lain.
Sedangkan Nessa tertawa-tawa melihat tingkah polah teman-teman barunya. Namun dalam hati, ia pun berharap hal yang sama. Bahkan sebelum berangkat ke sekolah barunya itu, tak terhitung berapa kali Nessa mematut dirinya di depan cermin. Memastikan dandanannya rapi sambil make a wish dalam hati. “Semoga SMA menjadi sejarah indah dalam hidupku. Semoga aku menemukan sesosok kekasih yang bisa membuat hariku lebih berwarna.” Tak lupa seuntai kata “Amin” mengekor di belakang harapannya.
Dan tiba-tiba tatapan mata Nessa bersibaku pada satu sosok yang memasuki kelasnya. Sesosok laki-laki dengan perawakan tinggi, kulit sawo matang, dan mata yang tajam. Sosok yang misterius dan mampu menyita perhatiannya. Sesosok yang belum pernah ia temui sebelumnya, namun Nessa merasa telah mengenalnya di suatu waktu. Entah itu kapan. Sosok itu lugu, tak hanya lugu namun cenderung culun. Tapi entah kenapa Nessa ingin terus memandang sosok itu. Menikmati sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelum-sebelumnya. Angannya melayang tak tentu arah, sampai-sampai ia lupa tengah diperhatikan teman-temannya.
“Nes, are you oke?” Nessa tergagap mendapati dirinya tengah bengong. Tak disadari pula jika cowok lugu yang dipandanginya tadi kini tengah berada di bangku dekat dengannya. Seketika nyali Nessa terasa menciut, hatinya gemetar. “Aku ini kenapa?” Nessa berbisik dalam hati. Kebingungan. Bahkan getaran itu terus terasa hingga guru memasuki ruang kelas dan suasana yang tadinya riuh rendah kini mendadak sepi.
Pada lembaran album berikutnya, kembali membawa benak Nessa pada bayangan manusia satu itu.
Setelah beberapa hari kegiatan belajar mengajar berlangsung, suasana kelas berubah. Dari yang dulunya tak mengenal satu sama lain, kini mereka saling mengenal. Namun tidak dengan Nessa dan sesosok misterius itu. Sesosok anak lugu bin culun yang Nessa tak pernah kenal. Bukan karena tak berniat untuk berkenalan. Tapi Nessa takut untuk melakukannya. Bagaimana mungkin ia yang akan memulai terlebih dahulu? Ah, pada kenyataannya banyak orang melakukannya. Lagipula itu hal biasa dilakukan orang-orang yang baru saja bertemu. Tapi bagaimana dengan Nessa? Ia memang baru saja bertemu dengan sosok itu. Tapi tidak dalam hati kecil Nessa. Ia tak punya banyak nyali untuk mengulurkan tangan dan mengucapkan namanya sendiri, seperti pada anak laki-laki lain di kelasnya. Karena yang ini spesial.
Seiring waktu Nessa tahu nama sosok itu. Di tengah malam sebelum tertidur ia selalu mengejanya pelan, berharap sosok itu bisa dikenalnya dalam mimpi.
Dan pada akhirnya Nessa tak bisa mengelak. Pada satu hari sosok itu berada di kelas. Hanya berdua dengannya. Tak ada orang lain di sana. Mungkin memang masih terlalu pagi, atau memang karena sudah takdir mereka berdua.
Nessa menyambut uluran tangan itu tanpa bisa menatap mata tajamnya. Nessa tak punya cukup nyali untuk melakukan itu. Meskipun mentalnya sebagai penari sudah diasah untuk tampil percaya diri di depan orang banyak, tapi nyalinya ciut juga di depan sosok satu ini. “Kevin.” Sang pemilik mata elang itu menyebutkan namanya. Pelan, namun tegas dan jelas. Bahkan tanpa diucapkanpun Nessa telah tahu nama itu. Nama yang seringkali diejanya. “Nessa.” Balas Nessa tak kalah pelan sambil berharap sosok di depannya tak menyadari bahwa suara itu bergetar.
Perkenalan singkat itu telah membuat hati Nessa luruh. Luruh dan harus mengakui bahwa ia jatuh cinta. Jatuh cinta untuk pertama kalinya pada sesosok lelaki. Kini Nessa membuka babak baru di kehidupannya.
Ia merasa amat beruntung ternyata sosok itu pun memiliki hati pada Nessa. Bahkan di satu hari dengan lugunya Kevin mengatakan bahwa ia ingin menjadikan Nessa kekasihnya. Hari itu gerimis tengah berlangsung. Hawa dingin menyergap dan membuat tubuh siapapun kedinginan, kecuali Nessa. Ia justru merasa ada keringat yang membasahi tubuhnya. Seketika suhu badan Nessa meningkat. Tangannya bergetar, hatinya tak karuan, dan jiwanya melayang. Seolah tengah berada di antara bunga-bunga yang bermekaran.
“Nes, maukah kamu jadi pacarku?” Jelas. Sangat jelas kata-kata itu keluar dari bibir Kevin. Dan Nessa kehilangan 1001 rangkain kata-katanya. Ia hanya bisa mengangguk. Nessa tengah jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tak peduli bagaimana sosok itu. Dan di hari itulah jalinan kasih mereka bermula.
Banyak teman Nessa yang menyayangkan keputusan itu. Bagaimana tidak? Nessa adalah seorang penari yang cantik, dengan tubuh mungil, mata bulat, dan rambut ikal. Tak hanya itu saja. Si Nessa mungil memiliki prestasi gemilang di bidang akademiki sejak TK sampai SMP. Kini belum lama berada di sekolah barunya, ia pun menjadi bintang di antara teman-teman sekelasnya. Bahkan teman seangkatannya di sekolah favorit itu. Bagaimana ia bisa punya pacar Kevin? Sesosok anak laki-laki yang culun, bahkan tak terkenal sedikitpun di sekolah.
Tapi apa peduli Nessa dengan itu semua? Nessa tak mendengarkan apa kata mereka. Yang ia tahu, ia merasa nyaman berada di samping Kevin. Berada di dekatnya lama-lama adalah hal sangat menyenangkan. Dan Nessa bangga memilikinya. Seseorang yang bisa membuatnya tertawa dan mengerti apa yang orang-orang sebut jatuh cinta pada pandangan pertama.
Di lembar foto berikutnya, Nessa kini tak kuasa membendung tangisnya yang pecah. Matanya sembab. Kesan ceria yang selalu dipamerkannya di depan setiap orang kini lenyap sudah. Matanya bengkak karena menangis dan tubuhnya lemah karena ia kelelahan. Namun ia tak bisa melawan bayangan yang kini muncul di benaknya.
Pada satu hari masih di musim hujan yang sama. Masih satu musim mereka menjalin kasih. Nessa dan Kevin, keduanya masih polos tengah berjalan-jalan. Tiba-tiba gerimis tiba. Memaksa mereka berteduh di satu emperan toko di pinggir jalan. Yang ada di sana mereka berdua. Hanya mereka tak ada yang lain. Harusnya saat itu Nessa merasa kedinginan. Namun kenyataannya tidak. Berada di dekat Kevin selalu mebuatnya hangat. Terdengar jelas Kevin mengucapkan sesuatu. “Nes, semoga kita tetap bersama-sama ya, sampai nanti musim hujan tak terhitung berapa jumlahnya yang telah kita lewati.” Nessa merasa semakin hangat mendengar kata-kata itu. Kevin menggenggam tangannya erat. Hati Nessa pun menghangat.
Tapi kini sosok Nessa tengah kedinginan, sendiri di sudut satu kamar. Tangan yang dulu pernah digenggam Kevin kini membuka-buka lembaran album foto yang tebal, tanpa bisa melawan bayangan yang muncul dari sana.



Kabut Pelangi
“Juni… Ini ibu nak.. Ibu rindu ingin bertemu kamu….”
Sayup-sayup, kudengar suara itu. Suara yang acap kali datang merasuki, melebur dan menyesakkan dalam mimpiku. Aku terbangun tiba-tiba dari mimpiku. Aku menggosok mataku yang sepertinya masih melekat. Kupandangi sekelilingku. Masih pagi buta. Udara dingin menembus relung-relung jiwaku. Aku beranjak cepat dari alas tidurku yang terbuat dari kardus tua, ketika air dari atap emperan toko menetes tiba-tiba. Aku segera terkesiap sembari meraih karung berukuran cukup besar, yang telah berisi barang-barang bekas yang kuanggap sebagai penyambung hidupku, setiap hari.

Namaku Juni. Aku adalah seorang pemulung. Hari-hariku ku isi dengan bekerja, bekerja dan bekerja. Sebatang kara hidupku. Tak tahu asal-usulku. Hanyalah Mbok Sarmi yang kupunya sekarang. Profesinya sama sepertiku. Ia menemukanku 8 tahun silam ketika aku masih bayi. Usiaku cukup belia. Tapi aku tidak sekolah, kawan. Aku tidak bisa.

Aku berjalan, menggendong sekarung barang, menelusuri emperan-emperan toko yang masih sepi, dan menjauh dari sana. Jalanan tampak lengang. Hanya kubangan-kubangan air karena hujan tadi malam di bulan November ini. Mencoba membuka satu-persatu tempat sampah. Mencari-cari yang sedang kubutuhkan. Namun sayang, rasanya sampah sudah dibersihkan oleh petugas. Dan aku tidak mendapatkan bagian darinya. Aku tak mendapat apa-apa.

Kuputuskan untuk pergi menuju suatu tempat dan menunggu hari. Aku menyusuri jalanan yang lembek dan licin. Melewati dinginnya air sungai yang terlalu jernih. Tibalah aku di atas bukit nan megah. Aku duduk diam di atas sebuah batu legam yang dingin rasanya jika diduduki. Tepat di sisiku, sebuah phon rindang memancarkan kesejukan. Kuletakkan karungku yang berwarna kelabu, yang sudah kelaparan untuk diisi sesuatu lagi.

Aku menatap langit timur. Matahari nampaknya akan bangun meninggalkan tempat peraduannya dan menyapa tiap insan di dunia. Ku layangkan pandanganku sejauh 1 mil dari tempatku terduduk sekarang. Gedung-gedung bertingkat berdiri megah di sana. Kabut menyelimuti pandanganku. Aku menoleh ke arah tanaman kerdil di depanku. Embun terjatuh dari ujung salah satu daunnya dan menimpa sebuah batu yang telah cekung dan berlumut karena telah terkikis oleh tetesan ribuan air sekian lamanya.

Aku diam dan merenung. Merambah masa laluku. Angin menyapa lembut raut wajahku yang mulai muram. “Ayah… Ibu… Di mana kalian kini? Aku ingin bertemu…” Rindu yang begitu menusuk sukmaku. Aku bingung. Adakalanya, aku ingin menangis karena kerinduanku yang teramat sangat. Adakala dimana aku ingin marah, kenapa mereka tega mencampakkanku. Sendiri, tanpa dosa, di atas tumpukkan sampah. Yang bisa kulakukan hanyalah berdoa, “Tuhann, tolong.. untuk sekali saja, pertemukanlah aku dengan mereka.. Hanya satu pintaku, Tuhan…”
Air mata setia untuk mengalir. Deras di pipiku. Seorang anak yang hidup dalam kesendirian tanpa kedua orangtua, tanpa saudara kandung. Hidup terlalu berat untuk kujalani.

Perlahan, aku membuka mata. Tampak samar pandanganku karena masih dipenuhi bulir-bulir air mata yang hendak tumpah. Jauh di sana, kicauan burung terdengar samar-samar. Langit tampak pucat merah. Masih ada mendung di sana. Matahari tak bersinar secerah hari biasa. Kabut benar-benar berkuasa. Membenamkan rasa kesendirian. Hela nafasku semakin sesak.

Aku mengusap mataku, menghapus air mata di sana. Aku tahu.. waktu tidak ‘kan mungkin berjalan mundur, bahkan bila aku memohon. Tidak mungkin aku dapat menoleh ke masa laluku, dan mencari asal-usulku. Tidak. Tidak mungkin. Yang kini harus kulakukan bukanlah merenung. Merenungkan sesuatu yang mustahil. Aku harus kuat, aku harus tabah. Hidupku, harus berjalan dengan semestinya. Meski aku tak mengetahui kedua orangtuaku siapa dan di mana.

Pelan, aku bangkit dari batu yang telah lama kududuki, hingga rasanya tak sedingin awal. Sehangat perasaanku, yang perlahan mulai menerima kenyataan hidup. Aku meraih karungku di sana. Berdiri sejenak dan melihat sekeliling. Tidak ada yang berubah dari keadaan mereka. Aku sadar, “Sesuatu tidak mungkin dapat berubah, kecuali jika ada yang merubah keadaannya menjadi yang lain”, pikirku dalam hati.

Angin berhembus perlahan. Menjemputku kembali dan membisikkan kata-kata. Menemani langkahku selama aku berjalan. Kembali bekerja sebagai seorang pemulung, demi kehidupanku.
“Aku masih punya Mbok Sarmi. Aku tak perlu takut kesepian.”, tekadku dalam hati. Sambil berlalu dari bukit itu aku mengucap doa kepada Sang Illahi, “Tuhan, aku sungguh bersyukur atas segala anugerah-Mu. Aku bukanlah seorang anak yang kesepian, karena Engkau telah telah mengirimkan malaikat dalam kehidupanku yang menjadikanku tidak sendiri lagi, Mbok Sarmi. Terima kasih atas segalanya, Tuhan. Lindungilah kedua oarngtuaku selalu, kapan saja dan di mana saja, meski aku tak pernah menyapa dan membelainya. Kabulkanlah doaku Ya Allah.. Amin”

Aku menuruni bukit itu dan kurasakan mentari tampak bersinar cerah. Awan mendung memberikan jalan bagi sinarnya, untuk menghangatkan hati yang dingin. Dan menghibur hati yang sedang berduka, menyinggirkan laranya. Alam kini mulai tersenyum. Di ufuk timur, kulihat angkasa bercahaya. Menebar senyum kebahagiaan. Aku berlalu dari sana, dan tersenyum bahagia.
“Terima Kasih, Tuhan..”

No comments:

Post a Comment