Melawan Bayangan
Gerimis dan lagu-lagu mellow adalah pasangan yang paling
romantis di sore seperti hari ini. Perlahan rinainya membasahi alam. Sama
dengan gerimis di pipi Nessa yang perlahan-lahan kian membanjir. Sedikit
menetesi segepok album foto yang tengah berada di tangannya.
Setiap lembar dari album itu membawanya kembali pada setiap
masa yang pernah dilaluinya. Nessa merindukannya. Sangat merindukannya. Suasana
hangat yang dulu pun masih jelas terasa. Dan sebentuk bayangan itu adalah
tentangnya. Seseorang yang selalu mengisi hati Nessa hingga kini.
Bayangan itu membawa Nessa ke sana. Di sudut kelas yang belum
dikenalnya. Suasananya ramai layaknya pasar. Penghuninya masih asing dan
bergerombol-gerombol. Nessa tengah terlibat pembicaraan dengan teman segerombolannya.
“Kira-kira enak nggak ya gurunya?” celetuk satu kawannya.
“Kira-kira aku dapat nemukan cowok yang super ganteng dan
terkenal di seantero sekolah nggak ya?”
“Seperti yang di FTV kah?”
“Uh… so sweet.” Yang lain pun menimpali, diikuti celetukan
lain.
Sedangkan Nessa tertawa-tawa melihat tingkah polah
teman-teman barunya. Namun dalam hati, ia pun berharap hal yang sama. Bahkan
sebelum berangkat ke sekolah barunya itu, tak terhitung berapa kali Nessa
mematut dirinya di depan cermin. Memastikan dandanannya rapi sambil make a wish
dalam hati. “Semoga SMA menjadi sejarah indah dalam hidupku. Semoga aku
menemukan sesosok kekasih yang bisa membuat hariku lebih berwarna.” Tak lupa
seuntai kata “Amin” mengekor di belakang harapannya.
Dan tiba-tiba tatapan mata Nessa bersibaku pada satu sosok
yang memasuki kelasnya. Sesosok laki-laki dengan perawakan tinggi, kulit sawo
matang, dan mata yang tajam. Sosok yang misterius dan mampu menyita
perhatiannya. Sesosok yang belum pernah ia temui sebelumnya, namun Nessa merasa
telah mengenalnya di suatu waktu. Entah itu kapan. Sosok itu lugu, tak hanya
lugu namun cenderung culun. Tapi entah kenapa Nessa ingin terus memandang sosok
itu. Menikmati sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelum-sebelumnya.
Angannya melayang tak tentu arah, sampai-sampai ia lupa tengah diperhatikan
teman-temannya.
“Nes, are you oke?” Nessa tergagap mendapati dirinya tengah
bengong. Tak disadari pula jika cowok lugu yang dipandanginya tadi kini tengah
berada di bangku dekat dengannya. Seketika nyali Nessa terasa menciut, hatinya
gemetar. “Aku ini kenapa?” Nessa berbisik dalam hati. Kebingungan. Bahkan
getaran itu terus terasa hingga guru memasuki ruang kelas dan suasana yang
tadinya riuh rendah kini mendadak sepi.
Pada lembaran album berikutnya, kembali membawa benak Nessa
pada bayangan manusia satu itu.
Setelah beberapa hari kegiatan belajar mengajar berlangsung,
suasana kelas berubah. Dari yang dulunya tak mengenal satu sama lain, kini
mereka saling mengenal. Namun tidak dengan Nessa dan sesosok misterius itu.
Sesosok anak lugu bin culun yang Nessa tak pernah kenal. Bukan karena tak
berniat untuk berkenalan. Tapi Nessa takut untuk melakukannya. Bagaimana
mungkin ia yang akan memulai terlebih dahulu? Ah, pada kenyataannya banyak
orang melakukannya. Lagipula itu hal biasa dilakukan orang-orang yang baru saja
bertemu. Tapi bagaimana dengan Nessa? Ia memang baru saja bertemu dengan sosok
itu. Tapi tidak dalam hati kecil Nessa. Ia tak punya banyak nyali untuk
mengulurkan tangan dan mengucapkan namanya sendiri, seperti pada anak laki-laki
lain di kelasnya. Karena yang ini spesial.
Seiring waktu Nessa tahu nama sosok itu. Di tengah malam
sebelum tertidur ia selalu mengejanya pelan, berharap sosok itu bisa dikenalnya
dalam mimpi.
Dan pada akhirnya Nessa tak bisa mengelak. Pada satu hari
sosok itu berada di kelas. Hanya berdua dengannya. Tak ada orang lain di sana.
Mungkin memang masih terlalu pagi, atau memang karena sudah takdir mereka
berdua.
Nessa menyambut uluran tangan itu tanpa bisa menatap mata tajamnya.
Nessa tak punya cukup nyali untuk melakukan itu. Meskipun mentalnya sebagai
penari sudah diasah untuk tampil percaya diri di depan orang banyak, tapi
nyalinya ciut juga di depan sosok satu ini. “Kevin.” Sang pemilik mata elang
itu menyebutkan namanya. Pelan, namun tegas dan jelas. Bahkan tanpa
diucapkanpun Nessa telah tahu nama itu. Nama yang seringkali diejanya. “Nessa.”
Balas Nessa tak kalah pelan sambil berharap sosok di depannya tak menyadari
bahwa suara itu bergetar.
Perkenalan singkat itu telah membuat hati Nessa luruh. Luruh
dan harus mengakui bahwa ia jatuh cinta. Jatuh cinta untuk pertama kalinya pada
sesosok lelaki. Kini Nessa membuka babak baru di kehidupannya.
Ia merasa amat beruntung ternyata sosok itu pun memiliki hati
pada Nessa. Bahkan di satu hari dengan lugunya Kevin mengatakan bahwa ia ingin
menjadikan Nessa kekasihnya. Hari itu gerimis tengah berlangsung. Hawa dingin
menyergap dan membuat tubuh siapapun kedinginan, kecuali Nessa. Ia justru
merasa ada keringat yang membasahi tubuhnya. Seketika suhu badan Nessa
meningkat. Tangannya bergetar, hatinya tak karuan, dan jiwanya melayang. Seolah
tengah berada di antara bunga-bunga yang bermekaran.
“Nes, maukah kamu jadi pacarku?” Jelas. Sangat jelas
kata-kata itu keluar dari bibir Kevin. Dan Nessa kehilangan 1001 rangkain
kata-katanya. Ia hanya bisa mengangguk. Nessa tengah jatuh cinta untuk pertama
kalinya. Tak peduli bagaimana sosok itu. Dan di hari itulah jalinan kasih
mereka bermula.
Banyak teman Nessa yang menyayangkan keputusan itu. Bagaimana
tidak? Nessa adalah seorang penari yang cantik, dengan tubuh mungil, mata
bulat, dan rambut ikal. Tak hanya itu saja. Si Nessa mungil memiliki prestasi
gemilang di bidang akademiki sejak TK sampai SMP. Kini belum lama berada di
sekolah barunya, ia pun menjadi bintang di antara teman-teman sekelasnya.
Bahkan teman seangkatannya di sekolah favorit itu. Bagaimana ia bisa punya
pacar Kevin? Sesosok anak laki-laki yang culun, bahkan tak terkenal sedikitpun
di sekolah.
Tapi apa peduli Nessa dengan itu semua? Nessa tak
mendengarkan apa kata mereka. Yang ia tahu, ia merasa nyaman berada di samping
Kevin. Berada di dekatnya lama-lama adalah hal sangat menyenangkan. Dan Nessa
bangga memilikinya. Seseorang yang bisa membuatnya tertawa dan mengerti apa
yang orang-orang sebut jatuh cinta pada pandangan pertama.
Di lembar foto berikutnya, Nessa kini tak kuasa membendung
tangisnya yang pecah. Matanya sembab. Kesan ceria yang selalu dipamerkannya di
depan setiap orang kini lenyap sudah. Matanya bengkak karena menangis dan
tubuhnya lemah karena ia kelelahan. Namun ia tak bisa melawan bayangan yang
kini muncul di benaknya.
Pada satu hari masih di musim hujan yang sama. Masih satu
musim mereka menjalin kasih. Nessa dan Kevin, keduanya masih polos tengah
berjalan-jalan. Tiba-tiba gerimis tiba. Memaksa mereka berteduh di satu emperan
toko di pinggir jalan. Yang ada di sana mereka berdua. Hanya mereka tak ada
yang lain. Harusnya saat itu Nessa merasa kedinginan. Namun kenyataannya tidak.
Berada di dekat Kevin selalu mebuatnya hangat. Terdengar jelas Kevin
mengucapkan sesuatu. “Nes, semoga kita tetap bersama-sama ya, sampai nanti
musim hujan tak terhitung berapa jumlahnya yang telah kita lewati.” Nessa
merasa semakin hangat mendengar kata-kata itu. Kevin menggenggam tangannya erat.
Hati Nessa pun menghangat.
Tapi kini sosok Nessa tengah kedinginan, sendiri di sudut
satu kamar. Tangan yang dulu pernah digenggam Kevin kini membuka-buka lembaran
album foto yang tebal, tanpa bisa melawan bayangan yang muncul dari sana.
Kabut Pelangi
“Juni… Ini
ibu nak.. Ibu rindu ingin bertemu kamu….”
Sayup-sayup,
kudengar suara itu. Suara yang acap kali datang merasuki, melebur dan
menyesakkan dalam mimpiku. Aku terbangun tiba-tiba dari mimpiku. Aku menggosok
mataku yang sepertinya masih melekat. Kupandangi sekelilingku. Masih pagi buta.
Udara dingin menembus relung-relung jiwaku. Aku beranjak cepat dari alas
tidurku yang terbuat dari kardus tua, ketika air dari atap emperan toko menetes
tiba-tiba. Aku segera terkesiap sembari meraih karung berukuran cukup besar,
yang telah berisi barang-barang bekas yang kuanggap sebagai penyambung hidupku,
setiap hari.
Namaku Juni.
Aku adalah seorang pemulung. Hari-hariku ku isi dengan bekerja, bekerja dan
bekerja. Sebatang kara hidupku. Tak tahu asal-usulku. Hanyalah Mbok Sarmi yang
kupunya sekarang. Profesinya sama sepertiku. Ia menemukanku 8 tahun silam
ketika aku masih bayi. Usiaku cukup belia. Tapi aku tidak sekolah, kawan. Aku
tidak bisa.
Aku
berjalan, menggendong sekarung barang, menelusuri emperan-emperan toko yang
masih sepi, dan menjauh dari sana. Jalanan tampak lengang. Hanya
kubangan-kubangan air karena hujan tadi malam di bulan November ini. Mencoba
membuka satu-persatu tempat sampah. Mencari-cari yang sedang kubutuhkan. Namun
sayang, rasanya sampah sudah dibersihkan oleh petugas. Dan aku tidak mendapatkan
bagian darinya. Aku tak mendapat apa-apa.
Kuputuskan
untuk pergi menuju suatu tempat dan menunggu hari. Aku menyusuri jalanan yang
lembek dan licin. Melewati dinginnya air sungai yang terlalu jernih. Tibalah
aku di atas bukit nan megah. Aku duduk diam di atas sebuah batu legam yang
dingin rasanya jika diduduki. Tepat di sisiku, sebuah phon rindang memancarkan
kesejukan. Kuletakkan karungku yang berwarna kelabu, yang sudah kelaparan untuk
diisi sesuatu lagi.
Aku menatap
langit timur. Matahari nampaknya akan bangun meninggalkan tempat peraduannya
dan menyapa tiap insan di dunia. Ku layangkan pandanganku sejauh 1 mil dari
tempatku terduduk sekarang. Gedung-gedung bertingkat berdiri megah di sana.
Kabut menyelimuti pandanganku. Aku menoleh ke arah tanaman kerdil di depanku.
Embun terjatuh dari ujung salah satu daunnya dan menimpa sebuah batu yang telah
cekung dan berlumut karena telah terkikis oleh tetesan ribuan air sekian
lamanya.
Aku diam dan
merenung. Merambah masa laluku. Angin menyapa lembut raut wajahku yang mulai
muram. “Ayah… Ibu… Di mana kalian kini? Aku ingin bertemu…” Rindu yang begitu
menusuk sukmaku. Aku bingung. Adakalanya, aku ingin menangis karena kerinduanku
yang teramat sangat. Adakala dimana aku ingin marah, kenapa mereka tega
mencampakkanku. Sendiri, tanpa dosa, di atas tumpukkan sampah. Yang bisa
kulakukan hanyalah berdoa, “Tuhann, tolong.. untuk sekali saja, pertemukanlah
aku dengan mereka.. Hanya satu pintaku, Tuhan…”
Air mata
setia untuk mengalir. Deras di pipiku. Seorang anak yang hidup dalam
kesendirian tanpa kedua orangtua, tanpa saudara kandung. Hidup terlalu berat
untuk kujalani.
Perlahan,
aku membuka mata. Tampak samar pandanganku karena masih dipenuhi bulir-bulir
air mata yang hendak tumpah. Jauh di sana, kicauan burung terdengar
samar-samar. Langit tampak pucat merah. Masih ada mendung di sana. Matahari tak
bersinar secerah hari biasa. Kabut benar-benar berkuasa. Membenamkan rasa
kesendirian. Hela nafasku semakin sesak.
Aku mengusap
mataku, menghapus air mata di sana. Aku tahu.. waktu tidak ‘kan mungkin
berjalan mundur, bahkan bila aku memohon. Tidak mungkin aku dapat menoleh ke
masa laluku, dan mencari asal-usulku. Tidak. Tidak mungkin. Yang kini harus
kulakukan bukanlah merenung. Merenungkan sesuatu yang mustahil. Aku harus kuat,
aku harus tabah. Hidupku, harus berjalan dengan semestinya. Meski aku tak
mengetahui kedua orangtuaku siapa dan di mana.
Pelan, aku
bangkit dari batu yang telah lama kududuki, hingga rasanya tak sedingin awal.
Sehangat perasaanku, yang perlahan mulai menerima kenyataan hidup. Aku meraih
karungku di sana. Berdiri sejenak dan melihat sekeliling. Tidak ada yang
berubah dari keadaan mereka. Aku sadar, “Sesuatu tidak mungkin dapat berubah,
kecuali jika ada yang merubah keadaannya menjadi yang lain”, pikirku dalam
hati.
Angin
berhembus perlahan. Menjemputku kembali dan membisikkan kata-kata. Menemani
langkahku selama aku berjalan. Kembali bekerja sebagai seorang pemulung, demi
kehidupanku.
“Aku masih
punya Mbok Sarmi. Aku tak perlu takut kesepian.”, tekadku dalam hati. Sambil
berlalu dari bukit itu aku mengucap doa kepada Sang Illahi, “Tuhan, aku sungguh
bersyukur atas segala anugerah-Mu. Aku bukanlah seorang anak yang kesepian,
karena Engkau telah telah mengirimkan malaikat dalam kehidupanku yang
menjadikanku tidak sendiri lagi, Mbok Sarmi. Terima kasih atas segalanya,
Tuhan. Lindungilah kedua oarngtuaku selalu, kapan saja dan di mana saja, meski
aku tak pernah menyapa dan membelainya. Kabulkanlah doaku Ya Allah.. Amin”
Aku menuruni
bukit itu dan kurasakan mentari tampak bersinar cerah. Awan mendung memberikan
jalan bagi sinarnya, untuk menghangatkan hati yang dingin. Dan menghibur hati
yang sedang berduka, menyinggirkan laranya. Alam kini mulai tersenyum. Di ufuk
timur, kulihat angkasa bercahaya. Menebar senyum kebahagiaan. Aku berlalu dari
sana, dan tersenyum bahagia.
“Terima
Kasih, Tuhan..”
No comments:
Post a Comment